Awalnya tanaman teh (Camellia sinensis) dibawa dari Jepang oleh dokter dan ahli botani berkebangsaan Jerman Andreas Cleyer pada 1686 bukan sebagai minuman namun tanaman hias. Kesaksian rahib bernama F. Valentjin pada tahun 1694 menerangkan bahwa ia melihat tanaman teh di halaman gubernur Belanda Camphuys di Batavia. Pada tahun 1728 pemerintah Belanda mendatangkan tanaman teh dari China ke Indonesia untuk dibudidayakan secara masif di Jawa. Tanaman Teh menjadi tanaman wajib kerja paksa.
Upacara minum teh terdapat di Kraton Yogyakarta yang sering disebut Upacara Patehan karena diadakan di Kepatehan. Upacara ini memiliki pakemnya sendiri yang berbeda dengan upaca minum teh di Jepang dan Inggris. Seperti Cangkir yang digunakan oleh Sultan memiliki ukuran yang kecil. Jadi ketika memakainya, sekali minum saja sudah habis. Selain ukuran yang tidak biasa, cangkir-cangkir itu sendiri juga memiliki corak warna bermacam-macam. Ada yang berwarna merah muda, bercorak emas, perak, atau warna yang lainnya. Corak warna-warna tersebut merupakan penanda tingkat jabatan orang-orang di dalam Kraton Yogyakarta. Secara khusus, tradisi Patehan sebenarnya tidak hanya satu versi melainkan tradisi ini juga dilaksanakan pada hari-hari besar seperti lebaran, ngapem, dan sungkeman. Namun, semuanya memiliki prosesi yang berbeda dengan Patehan yang dilaksanakan pada hari-hari biasa. Kekhasan dari teh yang disajikan pada tradisi Patehan adalah teh nasgitel alias panas, legi, kenthel.
Sekali lagi, hal ini menjadi budaya yang tidak dapat hilang dari keseharian. Sebagai bentuk simbol kearifan budaya yang terus dilestarikan dengan menjunjung etika dan estetika.