Gending, daityadhipa ya ta tinabeh
kendang, gong, gangsa, gubar asaburan,
syok-syokaning kangsi kumasik apagut
ngek-ngek sangkha tara-ra-ra ra-ra-ra(Purbatjaraka, 1931:41, 97 / Sedyawati, 1985: 236)
Gamelan dalam khasanah tradisi masyarakat Jawa adalah produk kearifan lokal yang masih bertahan hingga saat ini. Jalan panjang yang dilaluinya adalah sebuah perjuangan budaya yang terus membumi hingga detik ini. Lantunan musikalitas yang banyak digandrungi oleh berbagai masyarakat terpelajar luar negeri baik masyarakat Eropa maupun Amerika dan Asia Tenggara, mampu merekatkan sebuah persaudaraan yang melintasi berbagai benua. Gamelan adalah produk karya lokal yang dicipta oleh pujangga bunyi masa lalu. Para Etnomusikolog dan peneliti budaya telah banyak yang mempelajari tentang gamelan. Salah satunya adalah Pieter Eduard Johannes Ferdinandus, yang telah mengungkap tabir embrio gamelan dikala masih era Jawa Kuna.
Ketika gamelan belum selengkap hari ini, keberadaannya pada era Jawa Kuna masih menjadi bagian alat upacara dan liturgi ritual penghayatan atau sebagai penambah semangat pasukan ketika sedang berperang. Gamelan belum ada, yang ada hanyalah Musik Jawa Kuna. Beberapa istilah Jawa Kuna terkait dengan gamelan masih menjadi perdebatan para ahli. Jaap Kunst, menerjemahkan istilah Tabeh-tabehan sebagai bentuk orkes gamelan; R.M.Ng Poerbatjaraka menerjemahkan Mredangga dengan gamelan; P.J Zoetmulder memaknai istilah Gamel sebagai bentuk alat musik yang dihubungkan dengan alat musik perkusi (gamelan). Sutjipta Wirjasuparta menerjemahkan Mredangga dengan kegiatan bermain gamelan. Bahkan sebuah disertasi dari Suhardja Parta (1980) memaknai kata gamelan dari seorang pendeta Burma dan seorang ahli besi bernama Gumlao. Apapun perdebatan mengenai makna asal kata Gamelan, satu yang dapat dipetik bahwa alat musik gamelan adalah salah satu hasil akulturasi dari nenek moyang kita yang cerdas dalam menciptareka bunyi-bunyian yang berbeda dengan alat musik bunyi-bunyian dari negara lain (India, Thailand, Cina, Filiphina, Muangthai dll).
Dalam kitab sastra “Natya Sastra” bentuk alat musik yang digolongkan berdasarkan warna bunyi dikelompokan ke dalam empat golongan besar, yakni: (1) Tata Vadya; (2) Ghana Vadya; (3) Sushira Vadya; (4) Avanaddha Vadya. Kelompok Tata Vadya atau kordofon mencakup alat musik yang berdawai atau sumber bunyi dari tali yang di petik. Dalam relief-relief candi, alat musik golongan Tata Vadya adalah alat musik Harpa, Lute, Vina, Vipanci, Tambura dan Pandura. Dalam gamelan Jawa, alat musik yang tergolong Tata Vadya adalah ricikan Siter atau Celempung. Kelompok Ghana Vadya atau ideofon mencakup alat musik yang sumber bunyinya berasal dari badan alat musik itu sendiri. Alat musik jenis Ghana Vadya ini dalam relief-relief Candi digambarkan sebagai kelompok : Tepuk Tangan, Simbal, Genta, Tongkat Gesek, Kulkul, Mangkuk Gemrincing, Bonang, Kenong, Gong, Gambang, Salunding, Saron, Regang, Kangsi, Kemanak, Curing, Brekuk, Gubar, Mabasara, dan Reyong. Alat Musik yang tergolong Sushira Vadya atau aerofon adalah alat musik yang merupakan sumber bunyinya diperoleh dengan jalan ditiup. Dalam hal ini, adalah Seruling, Sangkha, Terompet, Organ Mulut. Dalam musik gamelan jelas termasuk Seruling Jawa sebagai penghias gendhing. Alat musik jenis Avanaddha Vadya atau membranofon adalah alat musik yang sumber bunyinya akibat dipukul. Alat musik jenis ini adalah Kendang. Dalam Gamelan Jawa terdapat empat jenis kendang yang digunakan, yakni Kendang Gede; Kendang Ketipung; Kendang Sabet serta Kendang Batangan. Dalam masa Jawa Kuna juga terdapat berbagai ragam alat musik kendang, seperti Bheri; Pataha; Bhambha; Dundunbhi; dan Dindima.
2 Comments
Ditunggu penemuan alat² perangkat gamelan kuno era majapahit hasil eksvakasi, agar dapat membantu menguak sejarah gamelan.
Bisa di telisik di Museum kami yang berada di Malang kak.. Museum Ganesya