Gamelan dalam tradisi lisan Jawa dianggap sebagai anugerah para dewa. Hal demikian telah ditulis oleh R.Ng Warsadiningrat adalah bukti nyata betapa keadiluhungan gamelan adalah menjadi produk kearifan lokal masyarakat Jawa. Serat atau kitab yang memuat tentang riwayat gamelan adalah Serat Wedhapradangga.
Dikisahkan bahwa pembuat gamelan adalah Sang Hyang Pramesti Guru, ketika menampakan wujud menjadi seorang raja yang berkerajaan di atas gunung Mahendra (Lawu), dengan sebuatan kerajaan Medhangkamulan. Gamelan buatan Hyang Guru dibuat tahun 167 dengan Candrasengkala “Swara Karengeng Jagat” dengan sebutan Gamelan Lokananta. Sedangkan ricikan (alat musik)nya berjumlah lima:
- Gendhing berwujud Kemanak;
- Pamatut berwujud Kethuk;
- Sauran berwujud Kenong;
- Teteg berwujud Kendhang Ageng;
- Maguru berwujud Gong.
Sedangkan untuk lagu dari penghias musik diambil dari kidung atau sekar kawi dan sekar ageng.
Di dalam tahun Isa 256 tahun matahari, 264 pada tahun bulan, bersamaan dengan Mangsa Magersari di kahyangan Indraloka kejatuhan cahya yang berkilauan. Lantas oleh para dewa disabda menjadi tujuh bidadari yang menawan hati. Kemudian dibuatlah tarian Badhaya dengan penari tujuh bidadari tersebut yang langsung di iringi oleh Gamelan Lokananta.
Dalam tahun 187 dengan suryasengkala “Swara Matenggeng Karna” raja para dewa Hyang Indra membuat gamelan dengan sebuatan Gamelan Surendra, yang pada lambat laun disebut sebagai Sulendro atau Slendro. Sedangkan ricikan / alat musiknya terdiri dari :
- Gendhing yaitu berupa Rebab;
- Kala yaitu berupa Kendhang;
- Sangka yaitu berupa Gong;
- Pamatut yaitu berupa Kethuk;
- Sauran yaitu berupa Kenong;
Tradisi Jawa meyakini bahwa Gamelan merupakan produk para dewa, terutama Hyang Pramesti Guru, dan disempurnakan oleh Sang Hyang Surapati (Indra). Bahkan ketika bidadari tercipta, sebuah tarian penuh keanggunan yang bernama tari Bedhaya juga dicipta oleh para dewa. Setelah gamelan diturunkan di dunia, Sri Maharaja Kano sebagai pewaris, melestarikan dan mengembangkan gamelan dengan berbagai komposisi alat musik dan penyempurnaan penggunaan gamelan dalam upacara kebesaran negara.
Ketika tahun 544 tahun matahari, atau 560 tahun bulan, Prabu Basukesthi raja di Wiratha berinisiatif membuat tabuhan rebana, dengan mencontoh alat musik yang selalu digunakan oleh para resi. Maka, para resilah yang bertanggung jawab dalam pembuatan tabuhan rebana tersebut, dengan alat musik:
- Bendhe;
- Gentha;
- Kekeleng;
- Trebang;
- Kenthongan;
- Angklung (dalam tradisi lisan, masa Basukethi lah dimulainya tradisi musik angklung)
Ketika tahun 1086, dengan ditandai sengkala berbunyi “Angraras Sarira Barakaning Dewa”, Prabu Jayalengkara dari negara Purwacarita (buyut dari Raden Panji Inukertapati), menambahkan alat musik gamelan yang berlaras slendro dengan seperangkat alat Gender (sepuluh bilah); Demung (lima bilah); Saron (lima bilah). Ketika sudah ada Gender maka gendhing-gendhing Abusinta diterapkan dalam alat musik tersebut. Dengan demikian musik tersebut, lebih dikenal dengan sebutan Gendhing Gender. Prabu Jayalengkaralah yang menyempurnakan ricikan gamelan hingga menjadi komplit hingga seperti sekarang ini. Bahkan diyakini, awal mula Laras Pelog juga dicipta jaman Prabu Jayalengkara.
Dalam sumber litearasi lain, ketika negara Jenggala diperintah oleh Prabu Lembu Amiluhur, para putra mahkota di didik untuk mencintai tentang gamelan. Maka, Raden Panji Inukertapati-lah yang merubah jumlah ricikan gamelan, menjadi:
- Bonang Ageng;
- Bonang Penerus;
- Gender Penerus;
- Demung;
- Saron Penerus;
- Ketipung;
- Kecer;
- Gambang Salukat;
Ketika Raden Panji Inukertapati sudah naik tahta menjadi raja di Jenggala dengan gelar Prabu Suryawisesa, berkenan membuat Gendhing Pakurmatan, digunakan sebagai media upacara kebesaran negara dan simbol kebesaran raja untuk mengiringi raja ketika keluar ataupun masuk kembali dari balai pengahadapan (Miyos Siniwaka). Gendhing tersebut diadopsi dari Gendhing Gender Bang-Bang Sumirat laras Slendro Pathet Manyura. Karyacipta Gendhing Pakurmatan tersebut dinamai Gendhing Suryasumirat berbentuk Ladrang dengan laras Slendro berpathet Manyura. Seiring berjalannya waktu dan beberapa penyempurnaan, maka ketika beliau keluar menuju balai penghadapan pada hari Senin dipakailah Gendhing Suryasumirat Laras Slendro Pathet Manyura sedangkan bila beliau menuju balai penghadapan pada hari kamis dipakailah gendhing yang sama dengan Laras Pelog Pathet Barang. Ketika beliau masuk ke istana setelah selesai dari balai pengahadapan dipakailah Gendhing Ladrang Sumirat. Semuanya adalah ciptaan beliau pribadi, Sang Prabu Suryawisesa. Namun pada masa Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram, Gendhing Suryasumirat diganti oleh beliau dengan Gendhing Srikaton untuk menghormati keluarnya Sri Sultan menuju balai penghadapan, sedangkan pulangnya dipakailah Gendhing Undur-Undur Kajongan dan dilestarikan hingga saat ini di Istana Kasunanan Surakarta.
Pada tahun 1145, dengan sengkalan berbunyi “Winisik Suci Ing Nata Bathara” Prabu Suryawisesa mencipta gamelan pakurmatan dengan nama “Kodok Ngorek”, dengan lagu gendhing bernama Kala-panganjur (udan riris). Nama gamelan dari gamelan Kodok Ngorek tersebut adalah “Kanjeng Kyai Jati Ngarang”. Dalam waktu yang bersamaan, Prabu Suryawisesa juga berkenan membuat gamelan pakurmatan dengan nama “Monggang”, dengan lagu gendhing bernama “Kalaganjur”. Nama dari gamelan Monggang tersebut adalah “Kanjeng Kyai Udan Arum”. Pada tahun 1145, Prabu Suryawisesa lalu berkenan membuat gamelan pakurmatan dengan nama “Carabalen” dengan nama Gendhing sebagai berikut:
- Gangsaran (Ladrang Lancaran);
- Balibalen (Ladrangan);
- Pisahan Bali (Ketawang)
Pada tahun 1517 di Negari Pajang, Sultan Adiwijaya berkenan memperbaiki Ricikan Rebab, serta berkenan membuat alat musik berupa Celempung, yang berlasar Slendro jumlah kawatnya 12 sedangkan yang Pelog berjumlah 14.
Tersebutlah, Pangeran Karanggayam I empu karawitan di Kerajaan Pajang yang sedang berkonflik dengan raja, membuat sindiran terhadap raja melalui beberapa Gendhing ciptaannya, yakni: Gendhing Jatikondhang; Gendhing Bujangga; Gendhing Karanggayam; Gendhing Runtik; Gendhing Singanebak; Gendhing Janggalana; Gendhing Bantheng Loreng; Gendhing Ngerang-Erang; Gendhing Jakalola; Gendhing Wani-Wani; Gendhing Rangsang; Gendhing Kaki Tunggu Jagung; Gendhing Gleyor; Gendhing Bayemtur serta Gendhing Rendeng. Sunan Kalijaga tanggap terhadap protes Pangeran Purunan atau Karanggayam I, sehingga dilerailah kemarahan sang pujangga tersebut, maka disarankanlah Pangeran Karanggayam berganti nama menjadi Ki Ageng Puruhita yang kelak akan dipundi-pundi oleh orang banyak. Ucapan Sunan Kalijaga menjadi sebuah kenyataan, sewaktu beliau Ki Ageng Puruhita meninggal dan dimakamkan di Dhusun Ngreden, makamnya banyak diziarahi masyarakat.
Pada tahun 1536 dengan sengkalan “Karengga Tri Wisiking Janma” Kanjeng Panembahan Senapati raja Mataram berkenan membuat gamelan Monggang Patalon yang berlaraskan Slendro. Digunakan sebagai gamelan kehormatan setiap keluarnya prajurit watang berlatih perang, setiap hari Sabtu. Gamelan Gangsa Patalon tersebut akhirnya bernama Kanjeng Kyai Singakrura, lalu dibuatkanlah gendhing untuk memeriahkan Watangan Seton, yakni:’
- Senopati, Gendhing Kethuk 2 Kerep Minggah 4, Slendro Sanga.
- Dhandhanggula, Gendhing Kethuk 4 Kerep Minggah 8, Slendro Sanga.
- Liwung, Ladrang Slendro Manyura.
Panembahan Senopati juga berkenan membuat beberapa tari Wireng:
- Tamengtowok; yang menarikan 2 orang dengan iringan Gendhing Ganjur Ketawang Gendhing Gender Laras Slendro Pathet Sanga;
- Lawung Ageng; yang menarikan 4 orang bersenjatakan tombak dan pedang dengan iringan Gendhing Liwung Ladrangan Slendro Manyura, ketika seseg memakai Gangsaran;
- Gelas Ageng; yang menarikan 4 orang dengan iringan Gendhing Kagok Madura Laras Slendro Pathet Manyura.
Pada tahun 1566 dengan Sengkalan “Rahsa Raras Tinata ing Ratu” Kanjeng Sultan Agung Hanyakrawati di Mataram, berniat membuat Gamelan Sekaten, dengan Sengkalan Memet yang terukir di rancakan saron dan demung, Wujudnya berupa buah nanas dan buah-buahan yang tertata rapi di tempat buah (1566 tahun Je = Rerenggan Woh-wohan Tinata ing Wadhah).