Wayang Kulit (Purwa)
Wayang Kulit adalah sebuah seni pementasan yang terbuat dari kulit hewan (red. Kulit Kerbau Sumatra atau Sapi). Sudah berkembang pada zaman kerajaan Majapahit sekitar abad ke sepuluh. Bagi kebanyakan seniman, Wayang Kulit tidak hanya sebagai Tontonan, tetapi juga Tuntunan dan Tatanan, karena wayang kulit mengandung makna kehidupan manusia berupa tingkah laku, pitutur atau ucapan dan tigkatan spiritual seseorang. Maka dari itu, terutama wayang kulit, banyak dipakai sebagai media penyebaran agama – agama di Indonesia pada masa lampau. Wayang kulit Punokawan dan Pandawa ini adalah koleksi Museum Gubug Wayang dari Dalang Ki Narto Sabdo.
Wayang Kulit Jawa Timur (Jek Dong)
Wayang Kulit adalah sebuah seni pementasan yang terbuat dari kulit hewan (red. Kulit Kerbau Sumatra atau Sapi). Sudah berkembang pada zaman kerajaan Majapahit sekitar abad ke sepuluh. Bagi kebanyakan seniman, Wayang Kulit tidak hanya sebagai Tontonan, tetapi juga Tuntunan dan Tatanan, karena wayang kulit mengandung makna kehidupan manusia berupa tingkah laku, pitutur atau ucapan dan tigkatan spiritual seseorang. Maka dari itu, terutama wayang kulit, banyak dipakai sebagai media penyebaran agama – agama di Indonesia pada masa lampau.
Wayang Kulit (Gedog)
Wayang Gedog adalah wayang yang memakai cerita serat panji. Wayang ini sudah berkembang sejak zaman kerajaan Kediri dan Mojopahit. Bentuknya hampir sama dengan wayang purwa. Wayang Gedog yang dikenal luas oleh masyarakat diciptakan oleh Girindrawardhana pada tahun 1485. Wayang Gedog baru memakai keris pada zaman Panembahan Senopati di Mataram. Barulah pada masa Pakubuwono ke III, Solo, wayang Gedog diperbaharui, dibuat mirip wayang purwa dengan nama Kanjeng Kyai Dewakatong dan Kyai Sri Wibawa.
Wayang Kulit Wahyu
Sejarah pertama wayang wahyu di prakarsai oleh Pastur D. Adisoedjono MSF pada tahun 1957 di Solo, Jawa Tengah. Saat itu pementasan masih mempergunakan tokoh-tokoh wayang purwa. Seiring berjalannya waktu, demi baiknya dan tidak menyalahi peraturan seni pewayangan diadakan diskusi antara Bruder Thimotheus, pastur, pakar wayang dari ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) yang sekarang menjadi ISI (Institut Seni Indonesia), dan KONRI (Konservatori Tari Indonesia) yang sekarang menjadi SMKI (Sekolah Menengah Kesenian Indonesia). Dalam diskusi tersebut disepakati untuk dibuat wayang wahyu yang mempunyai ciri khas tersendiri. Bentuk manusia digambar mirip dengan wajah serta watak orang yang menjadi perannya. Pada tanggal 2 Februari 1960 kemudian ditetapkan sebagai hari jadi wayang wahyu.
Wayang Wahyu pada awalnya diciptakan dalam rangka untuk penyebaran agama Katolik. Kisah cerita yang diambil berdasarkan atas Kitab Perjanjian Lama yang menceriterakan kisah-kisah zaman para Nabi yang berkaitan dengan Kitab Injil, dan dilanjutkan dengan cerita-cerita dalam Perjanjian Baru yang mempunyai fungsi untuk pendidikan umat Katolik pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Sumber cerita yang dilakonkan dalam pagelaran Wayang Wahyu mengangkat kisah yang terdapat di dalam Alkitab. Tokoh-tokoh dalam Wayang Wahyu dibuat secara realistik dengan ornamen dan ricikan yang distilir mirip dengan sunggingan wayang kulit Purwa. Selayaknya pertunjukan wayang kulit pada umumnya, pagelaran Wayang Wahyu juga diringi dengan gamelan dengan mengambil nyanyian atau gendhing Gerejani dengan garapan yang kreatif. Namun dalam suluknya (semacam nyanyian yang dikidungkan oleh dalang dalam pertunjukan wayang), masih tetap menampilkan gaya dan irama tradisional seperti pada wayang kulit Purwa dengan kreasi lirik yang baru. Alur cerita yang dipakaipun masih mengikuti pakem dari pertunjukan wayang kulit Purwa pada umumnya.
Wayang Kulit Cina Jawa (Wacinwa)
Etnis Cina dan Jawa adalah etnis yang sudah lama mendiami Nusantara, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kedua etnis tersebut hidup berdampingan membentuk budaya Cina – Jawa. Keberagaman budaya dari persilangan Cina – Jawa meliputi kuliner, pakaian, arsitektur bangununan hingga seni pertunjukan. Sejarah mencatat, tahun 1925 di Daerah Istimewa Yogyakarta muncul wayang Cina – Jawa atau Wacinwa sebagai salah satu perpaduan dalam seni pertunjukan.Gan Thwan Sing (1885 – 1967) adalah pembuat dan juga dalang Wacinwa yang lahir dan dibesarkan di Jatinom, Klaten. Sebagai keturunan Cina, Gan Thwan Sing mewarisi tradisi Cina dari kakeknya, Gan Ing Kwat.
Awal abad ke 20, Gwan Thwan Sing pindah ke Yogyakarta untuk mendalami seni pertunjukan dengan belajar seni pedalangan dan karawitan. dari situlah Gwan memperoleh ide untuk mengembangkan kesenian wayang yang memadukan unsur dua budaya, Cina dan Jawa.
Wayang Kulit Tokoh Kancil
Wayang Kancil pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1987 oleh Ki Ledjar Subroto atau lebih akrab dikenal dengan sapaan mbah Ledjar. Pria Kelahiran Wonosobo ini sudah memeperkenalkan Cerita Si Kancil lintas benua, seperti Eropa dan Amerika. Wayang Kancil yang beliau garap juga sudah masuk sebagai koleksi di beberapa museum luar negeri seperti Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, dan Kanada. Pada tahun 90 – awal 2000an beliau juga sering mendapat undangan untuk memainkan wayang kancil di negara – negara tersebut. Mbah Ledjar tutup usia pada hari Sabtu, 23 September 2017 pada usianya yang ke 80. Beliau berpesan kepada salah satu cucunya, ,mas Nanang untuk melestarikan wayang ini. Karena menurut beliau, mas Nanang mempunyai darah seni dari keluarga Mbah Ledjar. Dari mas Nanang, Wayang Kancil kemudian diperkenalkan ke Negeri Sakura, dan mendapat apresiasi positif dari pemerintah Jepang. Saat ini, Wayang Kancil masih dapat kita lihat bersama di Balai Minomartani Jogja sebagai penghargaan terhadap perjuangan Mbah Ledjar dibidang Seni Pewayangan. Mari kita cintai dan lestarikan kembali budaya Indonesia yang luhung ini dan juga dongeng edukatif dari cerita Si Kancil dan kawan – kawan lewat Wayang Kancil.