Bali, Benteng Terakhir Budaya Majapahit (Part 1)

Bangkit dan Runtuhnya Majapahit

Majapahit adalah Kerajaan besar di Nusantara yang berdiri di daerah Jawa Timur sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan menguasai sebagian besar wilayah nusantara. Letak dan lokasi kerajaan Majapahit berawal dari sebuah desa kecil di kawasan hutan tarik ini (sebelah timurlaut kota Mojokerto kini). Pendirinya ialah Raden Wijaya yang di nobatkan dengan nama Kertarajasa Jayawardana. Berdasarkan kitab Nagarakrtagama (selesai ditulis pada 1365 oleh Mpu Prapanca), di masa keemasannya, Majapahit adalah kerajaan dengan budaya keraton yang adiluhur, anggun dan canggih. Cita rasa seni dan sastranya tinggi dengan sistem ritual keagamaannya yang rumit dua agama besar Hindu-Budha yang di anut masyarakatnya hidup berdampingan dalam harmoni. Tidak mengherankan jika banyak ahli menggambarkan kerajaan Majapahit sebagai “mandala raksasa” yang membentang dari Su-matera hingga ke Papua.

Kerajaan ini kemudian mencapai puncaknya di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350 – 1389) yang bergelar Rajasanagara, dan Patih Gajah Mada (1330 -1364). Di masa Ha-yam Wuruk inilah Majapahit mencapai zaman keemasannya. Wilayahnya terbentang dari Sumatera hingga Papua, hampir seluas wilayah Republik Indonesia kini, sementara berbagai sistem budaya menggeliat lalu terbangun untuk menderap, meramaikan kehidupan di masa itu. Arsitektur melahirkan banyak candi dan bangunan lainnya yang masih dapat kita lihat dan nikmati keindahannya hingga kini. Industri rumahan meninggalkan jejak berupa terakota/ tembikar dan patung-patung logam yang keindahannya tak kalah dengan produksi masa kini. Dunia perdagangan meninggalkan rupa-rupa komoditi yang di antaranya berupa keramik/ porselen. Seni sastra masih mencatat dengan tinta emas keindahan syair dalam kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca, dan kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kota-kota pun berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk, sementara kota-kota pelabuhan seperti Lasem, Tuban dan Sidayu pun menjadi kian sibuk oleh perdagangan ke mancanegara. Terlebih Trowulan sebagai pusat kerajaan. Betapa kota yang dibangun sejak zaman peme-rintahan Jayanagara (1308 – 1328) ini dibentuk menjadi kota yang dibelah oleh puluhan kanal untuk mempermudah hubungan dari satu tempat ke tempat lainnya. Hingga kini kanal-kanal itu masih dapat diidentifikasi oleh siapapun yang berkunjung ke Trowulan.

Lebih dari itu, suasana tenteram pun mewarnai kehidupan masyarakat Majapahit. Terdapat di sini berbagai suku, agama dan etnis yang hidup berdampingan dengan damai. Dari tinggal-an berupa figurin, kita pun dapat mengidentifikasi adanya masyarakat dari etnis Tionghoa, Persia, Arab, dan Melayu di tengah-tengah bersibaknya kesibukan masyarakat Majapahit. Dari sana pula kita tahu bahwa di kerajaan itu toleransi beragama hadir dengan indahnya dalam hati sanubari masyarakat. Islam, Buddha, Hindu menjadi agama yang saling memaklu-mi dalam pelaksanaannya.

Tetapi, “tiada pesta yang tak berakhir”, demikian orang bijak pernah berkata. Imperium besar itu akhirnya meredup dan perlahan-lahan runtuh meninggalkan puing-puing sebagaima-na yang kita lihat kini. Mangkatnya Gajahmada pada 1364 dapat dipandang sebagai awal dari semua itu. Mahapatih itulah yang sejak naik tahtanya Hayam Wuruk di tahun 1350 merupa-kan penopang utama kekuasaan sang raja. Kini, tiadanya Sang Mahapatih berarti berkurang-nya kekuatan Sang Rajasanagara.

Dan Majapahit pun kian doyong manakala di tahun 1389 Hayam Wuruk pun mangkat. Berpulangnya raja besar ini mau tak mau mengurangi wibawa lembaga kerajaan Majapahit di mata para kawulanya. Penggantinya adalah Wikramawardhana, keponakan sekaligus menan-tu dari Hayam Wuruk, karena Wikramawardhana (1389 – 1427) adalah suami dari Kusuma-wardhani, putri Sang Rajasanagara.

Pukulan telak terhadap kerajaan yang membuatnya terhuyung-huyung  datang di tahun 1401. Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selir, merasa lebih berhak atas tahta Maja-pahit dibandingkan dengan Wikramawardhana yang hanya keponakan sekaligus menantu dari ayahandanya (Hayam Wuruk). Maka terjadilah perselisihan antara dirinya dengan Kusuma-wardhani dan Wikramawardhana, yang akhirnya berujung pada meletusnya Perang Paregreg pada 1401.

Perang besar yang melibatkan ribuan manusia itu berlangsung selama 4 tahun, dan mene-lan korban jiwa ribuan orang pula, selain terlantarnya sawah dan ladang serta timbulnya ben-cana kelaparan. Perang yang berakhir di tahun 1404 itu benar-benar menguras energi Maja-pahit sehingga hampir tak sanggup berdiri tegak. Wikramawardhana memang berkuasa hingga 1427, tetapi sejak berakhirnya Perang Paregreg, Majapahit yang diperintahnya bukan lagi Majapahit seperti di zaman Hayam Wuruk. Banyak daerah yang mulai melepaskan diri kare-na longgarnya kontrol Majapahit, lebih-lebih daerah yang terbilang merupakan pusat-pusat perdagangan. Dan rakyat Majapahit tak lagi dapat tenteram pada tahun itu, pada tahun berikutnya, dan tahun berikutnya lagi.

Eksodus orang Majapahit pun tak terhindarkan di awal abad 15 itu. Sejak Perang Pareg-reg, penduduk pun mulai memikirkan bahwa keadaan di Majapahit tak selamanya aman tenteram. Ada negeri yang aman sentosa di sebelah timur sana bernama Bali. Berita-demi berita yang mereka dengar tentang negeri itu adalah senantiasa kabar baik belaka. Tidakkah negeri berkabar baik itu sesungguhnya negeri elok yang layak dijadikan tumpuan hidup?

Ke sanalah akhirnya banyak masyarakat Majapahit menuju. Dari kota-kota dan desa yang terlindas perang, yang tak memiliki harapan lagi untuk ditinggali karena jiwa terancam, yang hasilnya tak lagi dapat diharapkan. Mereka “bedol desa” membawa serta agama dan tradisi keluarganya, ke tempat yang baru, yang tradisinya lebih-kurang sama. Tetapi memang ketenteraman rakyat tergantung penuh pada penguasanya.

Wikramawardhana mangkat pada 1427, digantikan oleh Suhita, putrinya dari seorang selir. Suhita berpulang di tahun 1447, dan kendali Majapahit dipegang oleh adik laki-laki Suhita bernama Kertawijaya yang berkuasa hingga 1451. Penggantinya adalah Bhre Pamotan dengan gelar Rajasawardhana, yang memerintah hingga 1453.

Mangkatnya Rajasawardhana menyebabkan Majapahit mengalami masa interregnum, ko-songnya kekuasaan antara 1453 – 1456. Baru setelah ini, di tahun 1456 Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik tahta. Ia mangkat 10 tahun kemudian, dan digantikan oleh Singhawikra-mawardhana yang berkuasa hingga 1468. Di tahun itu Pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana, dan menobatkan diri sebagai raja Majapahit.

Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi, Si-nghawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh putra-nya Dyah Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada ku-run waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya ke-kuatan kerajaan Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa. Demikian akhirnya imperium raksasa Majapahit hancur berkeping-keping. Karena tiada raja yang kuat, dan karena munculnya kekuatan baru dengan paradigma yang juga baru.

Tinggalkan Komentar

Hubungi WhatsApp Kami