Sejarah Wayang Nusantara

Lengleng ramnyaningkang, sasangka kumenyar O..

Mangrengga ruming puri, O.. mangkin tanpa Siring, halep ningkang ngumah,

mas lir murub ing langit, O.. tekyan sarwa manik O…

tawingnya sinawung, O.., O.. saksat sekar si Nuji, unggwan Banowati, O..

yen amrema la-Ngen, lan Nata Duryudana O.. Lan Nata Dur-Yudana, O…

Wayang adalah bentuk kesenian yang multi aspek dan tumbuh sekitar zaman Neolitik tepatnya pada 1500 SM. Banyak pendapat sarjana yang meneliti tentang muasal wayang, seperti N.J Krom; Rassers; Hazeu; KPA Kusumadilaga; Ranggawarsita; Suroto; Sri Mulyana; sepakat bahwa wayang adalah hasil kebudayaan asli dari Jawa (baca: Nusantara) yang telah mengalami proses panjang akulturasi dan penyerapan dari kebudayaan lain (India) yang pada muaranya menjadi bentuk kesenian asli Jawa.

Wayang sebagai kebudayaan tertua asli Indonesia banyak juga disebut oleh sumber-sumber sejarah, utamanya karya sastra Harjunawiwaha yang terkenal pada masa pemerintahan Raja Airlangga, abad ke 10 Masehi.

“Hananonton Ringgit manangis asekel muda hidepan huwus wruh towin jan walulang ingukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya molah tan wikihana tatwan jan maya sahana-hananing bhawa siluman” (Hazeu, 1985:41)

“Ada orang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya semu saja”

Jelas terlihat bahwa wayang adalah produk lokal bangsa ini yang digunakan sebagai laku ritus pemujaan dengan menonton bayang-bayang sebagai perantara untuk menghadirkan nenek moyang. Maka dengan demikian wayang telah menjadi bagaian upacara ritus masyarakat Jawa.

Dalam berbagai literatur produk kebudayaan Jawa yang bermuatan tradisi lisan seperti halnya, Centhini dan Sastramiruda dikabarkan bahwa dunia bayang-bayang sudah ada sejak zaman Jayabaya di Mamenang (939 M) yang digambarkan di atas daun lontar. Selanjutnya pada masa Prabu Suryaamiluhur di Jenggala tahun 1166 saka (1244 M) boneka wayang dibuat di atas kertas Jawa [kertas kulit kayu] dari Ponorogo dengan dijapit kayu di kanan-kirinya untuk menggulung.

Pada masa berikutnya pada zaman raja Brawijaya I tahun 1301 saka (1379 M) di Majapahit wayang dilukis lengkap dengan asesoris pakaian, rambut, dan bermacam-macam warna. Wayangpun disempurnakan dari kulit dan berupa profil tokoh -tokoh kerajaan pada zaman Raden Patah tahun 1437 Saka (1515 M). Selanjutnya, zaman Demak-lah wayang di dekonstruksi sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan ajaran Islam (Soetarno, 2004: 5-6).

Hazeu dalam bukunya Kawruh Asalipun Ringgit sarta Gegepokanipun Kaliyan Agama Ing Jaman Kina, disebutkan bahwa pada waktu zaman Islam wayang digunakan untuk alat berdakwah, dengan pertunjukan berdurasi semalam suntuk, bentuk wayang-nya pun dibuat tidak menyerupai manusia, meskipun tangan boneka belum dilepaskan dari badan. Peristiwa ini terjadi tahun 1440 Caka atau 1518 Masehi dengan sengkalan berbunyi Sirna Suci Caturing Dewa.

Beberapa periode kemudian yaitu pada tahun 1443 Saka atau 1521 Masehi dengan sengkalan yang berbunyi Geni Dadi Sucining Jagad, para wali berusaha menyempurnakan wayang dengan pertunjukannya. Sunan Giri menambahkan tokoh-tokoh kera; Sunan Bonang menciptakan ricikan kewanan berupa gajah, kuda, serta rampogan. Sunan Kalijaga membenahi format pertunjukan wayang dengan pemakaian kelir, blencong, gedebog. Sultan Demak menambah Gunungan atau Kayon yang biasa ditancapkan di tengah-tengah kelir.

Tinggalkan Komentar

Hubungi WhatsApp Kami