Tarian Edan-Edanan

Yen kinarya tatamba kalawan wenang, nganggo emas menawi, kinarya sarana, pepaline yen krama, anganggowa lempeng nenggih, pra warganira, penganten etsri sami.Gelut lawan wargane penganten lanang endi ingkang kapilis, pan kena pedhendham, lan nalika ngarak, nganggo Edan-edanan nenggih, lamun palastra, katarap layonireki.

 

Serat Centhini I 1985:229

Pernikahan adalah salah satu ritus siklus kehidupan manusia yang penuh dengan tata cara dan piranti upacara. Tidak terkecuali kehidupan di dalam tembok keraton, sebagai punjering tata cara yang merepresentasikan kebudayaan Jawa. Salah satu rentetan pelengkap simbol kehidupan dalam upacara perkawinan di kraton adalah kehadiran penari Edan-edanan. Penarinya adalah abdi dalem raja, yang bertugas sejak upacara Pisowanan Sengkeran dan Siraman. Rias yang dipakai cukup aneh, berdandan layaknya orang gila, (Jawa: Edan) dengan menari sesuka hati dan terkesan lucu (Jawa: Gecul).

Tradisi lisan yang berkembang di lingkungan kraton Kasunanan Surakarta menyebutkan bahwa, tari Edan-edanan tersebut merupakan wujud nadar dan ujar. Intinya tari Edan-edanan merupakan kaulnya para abdi dalem (emban) dari putri raja yang melaksanakan pernikahan. Karena emban tersebut merasa gembira karena orang yang di asuhnya memasuki kehidupan baru yakni berumah tangga, hingga ekspresi para abdi dalem tersebut layaknya ngedan atau terlihat seperti orang gila. Tari Edan-edanan juga merupakan simbol kesuburan bagi masyarakat Keraton. Meskipun belum terdapat kepastian sejak kapan kelahiran tarian tersebut, namun diperkirakan sudah ada jauh sebelum masa pemerintahan Paku Buwana X. bahkan keberadaannya sejajar dengan Bedhaya Ketawang. Hal tersebut sebagai bentuk syakti raja yang mengukuhkan sebagai lambang kekuasaan.

Tinggalkan Komentar

Hubungi WhatsApp Kami